Pemilihan Serentak Dianggap Membebani Masyarakat

Tim Siyasah
26.2.25
Last Updated 2025-02-26T11:19:24Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi dalam RDPU Komisi II dengan Akademisi terkait evaluasi pemilihan serentak nasional tahun 2024 di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (26/02/2025). Foto : Mu/Andri
JAKARTA, SIYASAH News | Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi menyoroti kompleksitas pemilu yang berlangsung bersamaan, terutama dalam konteks pemilihan legislatif dan presiden. Ia mencontohkan di daerah Jawa Barat seperti Bandung, pemilih memiliki beban karena harus memilih dari ratusan calon dalam satu waktu.

Ia juga mengungkapkan bahwa dalam kondisi seperti ini, pemilihan presiden menjadi pusat perhatian utama, sementara calon legislatif kehilangan daya tarik di mata publik. “Bintangnya itu hanya capres. Yang caleg ini nggak ada yang jadi bintang, melempem semua,” ujarnya dalam RDPU Komisi II dengan Akademisi terkait evaluasi pemilihan serentak nasional tahun 2024 di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (26/02/2025).

Lebih lanjut, Politisi Fraksi Partai Demokrat itu juga mempertanyakan kemungkinan pemisahan pemilu nasional dan daerah. Ia mempertanyakan apakah sistem saat ini efektif atau justru perlu penyesuaian agar proses pemilihan lebih optimal dan tidak membebani pemilih serta penyelenggara pemilu.

Selain itu, ia juga menyoroti masalah penyelenggara pemilu yang bersifat ad-hoc. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 tempat pemungutan suara (TPS) menjadi perhatian utama. Menurutnya, banyak faktor administratif yang harus dicermati untuk memastikan proses pemilu berjalan dengan baik. “Ini kan banyak hal-hal kecil terkait persyaratan yang mungkin tidak dicermati dengan baik,” katanya.

Dede Yusuf juga menyoroti kemungkinan jarak waktu antara pemilu dan pilkada yang ideal. Ia mengkaji skenario pemilu yang digelar pada 2029, diikuti pilkada dua tahun setelahnya pada 2031. Hal ini berpotensi membuat kepala daerah terpilih pada 2025 memiliki masa jabatan hingga tujuh tahun. “Apakah jaraknya harus dua tahun atau bisa lebih singkat agar masa jabatan tidak terlalu panjang?” tanyanya.

Dalam aspek sistem pemilu, Ia juga menyoroti perdebatan antara sistem proporsional terbuka, tertutup, atau hibrida. Menurutnya, partai politik memiliki kepentingan dalam menempatkan kader terbaiknya di posisi strategis, tetapi sistem pemilu juga harus memberikan peluang yang adil bagi semua calon. Ia menekankan bahwa diskusi terkait reformasi pemilu harus dilakukan secara berkelanjutan agar menghasilkan kebijakan yang lebih baik. 

Minta DKPP Periksa KPU-Bawaslu

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Indrajaya menyoroti putusan akhir PHPU di MK yang memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah daerah. Perintah Pemungutan Suara Ulang (PSU) itu disebabkan karena calon kepala daerah didiskualifikasi akibat ketidakabsahan status pencalonan.

"Ini murni karena keteledoran KPU dan Bawaslu. DKPP harus memproses, menjadikan informasi ini sebagai laporan, dan menyidangkannya," pinta Indrajaya dalam keterangan rilisnya yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (26/02/2025).

Pilkada yang diperintahkan PSU, di antaranya adalah putusan diskualifikasi Calon Wakil Bupati Pasaman Sumatera Barat, Calon Wakil Bupati Tasikmalaya, Calon Wakil Gubernur Papua, dan secara khusus terhadap Calon Bupati Boven Digoel, Papua Selatan.

"Putusan MK sangat memprihatinkan, harusnya pemeriksaan administrasi pencalonan sudah beres pada saat pendaftaran di KPU," terang Politisi Fraksi PKB itu.

Menurutnya, peristiwa serupa berulang dalam setiap pilkada. Merujuk pada asas-asas kode etik penyelenggara pemilu, disengaja atau tidak disengaja KPU dan Bawaslu harus bertanggung jawab. Bila disengaja jelas pelanggaran hukum, bila tidak disengaja, kategorinya tidak profesional, tidak cermat alias teledor. Maka, keduanya harus diberi sanksi tegas.

Legislator asal Papua Selatan ini mencontohkan Putusan MK untuk PSU di Kabupaten Boven Digoel tanpa mengikutsertakan Calon Bupati Petrus Ricolombus Omba yang didiskualifikasi meski telah dinyatakan menang oleh KPU Boven Digoel.

"Mestinya status calon bupati Petrus Ricolombus Omba sebagai mantan terpidana di Pengadilan Militer dapat diketahui sedari pendaftaran. Ini aneh, ada kesan ditutup-tutupi, dan ada kesan tidak konsultasi bila tidak paham, ini tidak patut," tegasnya.

Yang harus diperhatikan, akibat putusan ini tidak hanya menyangkut paslon, tapi masyarakat pendukung. Mestinya penyelenggara pemilu lebih peka akibat yang terjadi. Dia berharap masyarakat Papua Selatan bisa menerima putusan MK meski terselip kekecewaan.

"Saatnya bersatu membangun wilayah otonomi baru ini lebih maju diwarnai persaudaraan," saran Indra.

Indra mengingatkan, putusan MK itu final dan mengikat (final and binding) alias tidak ada upaya lain setelah putusan PHPU. "Ini jelas keteledoran KPU dan Bawaslu di tingkat kabupaten, kota dan provinsi itu, maka kami berharap penyelenggara di atasnya dapat melapor ke DKPP. Jangan sampai kejadian serupa terus terulang, hanya keledai yang berulang jatuh ke lubang yang sama," pungkasnya. (dpr.go.id)
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl