Menjaga pandangan tidak lagi sekadar menjauhkan diri dari yang haram secara tekstual, tetapi juga melindungi diri dari paparan berlebihan terhadap standar hidup yang tidak realistis.
Oleh : Dr. Bukhari, M.H., CM, (Akademisi dan Pengamat Sosial Islam, IAIN Lhokseumawe)
PERUBAHAN zaman membawa perubahan gaya hidup yang tak terelakkan. Di era serba mewah dan canggih seperti sekarang, umat manusia, baik muslim maupun non-muslim, hidup di tengah kemajuan teknologi yang sulit dihindari. Kemudahan akses terhadap berbagai informasi, gaya hidup mewah yang dipamerkan di media sosial, hingga tren konsumtif yang seolah memaksa kita untuk mengikuti arus, menjadi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan spiritual dan emosional. Di sinilah relevansi ajaran Islam tentang syukur dan menjaga pandangan menemukan konteksnya.
Dalam Islam, salah satu bentuk bersyukur kepada Allah adalah menjaga pandangan mata. Pandangan yang terkontrol tidak hanya untuk menjauhkan diri dari yang diharamkan, tetapi juga sebagai sarana untuk melindungi diri dari godaan duniawi yang bisa mengikis rasa syukur dan kepuasan diri. Pada masyarakat tradisional dahulu, godaan materi jauh lebih minim. Kehidupan mereka sederhana, tanpa dominasi teknologi yang membuat batas antara kebutuhan dan keinginan menjadi kabur.
Namun, realitas saat ini berbeda. Di zaman serba digital, alat teknologi seperti ponsel dan laptop menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Tak hanya sekadar alat komunikasi, perangkat ini juga menjadi pintu gerbang menuju lautan konten—gaya hidup mewah, barang-barang konsumtif, hingga standar kecantikan dan kesuksesan yang ditampilkan tanpa henti di media sosial. Ketika mata kita terus melotot kepada semua hal ini, rasa syukur menjadi tumpul. Kita mulai terjebak dalam siklus membandingkan diri dan berujung pada perasaan selalu kurang.
Islam mengajarkan bahwa mata adalah jendela hati, dan menjaga pandangan merupakan salah satu cara terbaik untuk menjaga kebersihan hati. Dalam konteks modern ini, menjaga pandangan tidak lagi sekadar menjauhkan diri dari yang haram secara tekstual, tetapi juga melindungi diri dari paparan berlebihan terhadap standar hidup yang tidak realistis. Di sinilah pentingnya pembatasan akses terhadap informasi yang berpotensi mengganggu spiritualitas dan kebahagiaan kita.
Maka, apa yang bisa kita lakukan? Mengingat kehidupan modern tak mungkin sepenuhnya dihindari, salah satu langkah efektif adalah dengan menyaring apa yang kita lihat. Batasi waktu di media sosial, pilih konten yang bermanfaat, dan yang paling penting, latih diri untuk bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki, bukan sibuk mengejar apa yang tidak ada.
Pandangan yang tidak terjaga hanya akan membawa kita pada rasa iri dan ketidakpuasan. Sebaliknya, dengan membatasi pandangan, kita dapat lebih fokus pada kehidupan nyata, menghargai nikmat yang telah kita peroleh, dan terhindar dari jeratan gaya hidup yang serba "wah" namun sering kali palsu.
Dalam dunia yang semakin terhubung ini, menjaga pandangan adalah langkah kecil yang bisa membawa dampak besar. Sesederhana menahan mata dari melotot pada hal-hal yang tidak perlu, kita bisa menciptakan ketenangan batin dan keseimbangan spiritual. Di tengah gempuran teknologi, mungkin inilah cara modern untuk menjalani hidup dengan penuh syukur.(***)