Di senja yang retak,
teriak cinta berubah jadi bara,
sebotol pertalite seharga lima ribu
menjadi tiket menuju luka tak terbayang.
Seorang lelaki,
terjebak antara amarah dan putus asa,
menyiram tubuhnya dengan api,
seakan ingin menghanguskan rasa sakit
yang tak mampu ia ucapkan.
Istri berlari,
warga berteriak,
langit menunduk menyaksikan
daging yang terbakar,
janji yang terbakar,
hidup yang setengah terbakar.
Oh manusia,
mengapa api dijadikan bahasa terakhir?
Bukankah luka bisa sembuh
jika kata-kata jadi jembatan?
Di kebun yang masih berasap,
tinggal jejak arang dan bau bensin,
sementara di rumah sakit
seorang lelaki menggigil
antara hidup dan mati,
mencari damai yang terlambat datang. (NN)
teriak cinta berubah jadi bara,
sebotol pertalite seharga lima ribu
menjadi tiket menuju luka tak terbayang.
Seorang lelaki,
terjebak antara amarah dan putus asa,
menyiram tubuhnya dengan api,
seakan ingin menghanguskan rasa sakit
yang tak mampu ia ucapkan.
Istri berlari,
warga berteriak,
langit menunduk menyaksikan
daging yang terbakar,
janji yang terbakar,
hidup yang setengah terbakar.
Oh manusia,
mengapa api dijadikan bahasa terakhir?
Bukankah luka bisa sembuh
jika kata-kata jadi jembatan?
Di kebun yang masih berasap,
tinggal jejak arang dan bau bensin,
sementara di rumah sakit
seorang lelaki menggigil
antara hidup dan mati,
mencari damai yang terlambat datang. (NN)