Kisah Idul Fitri Korban Perang Palestina

Tim Siyasah
10.4.24
Last Updated 2024-04-10T13:39:36Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

KETIKA seluruh dunia merayakaan Idul Fitri 1445 Hijriyah dengan penuh kegembiraan, berbeda dengan korban perang di Palestina. Seperti dituturkan Layan, perempuan 11 tahun di Rafah, Gaza. Berikut laporan lengkap yang dipublikasikan BBC Indonesia. 

 

“Idulfitri kali ini tak seperti Idulfitri lainnya, karena adanya perang. Kami kehilangan keluarga kami," tutur Layan, bocah perempuan berusia 11 tahun yang kini tinggal di Rafah, Gaza.


Saat umat Islam di penjuru dunia bersiap merayakan Idulfitri, anak-anak di Gaza menuturkan bahwa kebahagaiaan Idulfitri telah dirampas dari mereka.


Anak-anak yang kini menjadi yatim piatu atau terpaksa hidup tanpa orang dewasa yang merawat mereka berjumlah sekitar 1% dari total populasi pengungsi di Gaza, menurut organisasi PBB yang mengurusi masalah anak, Unicef.


Saat ini di Gaza tak ada kamp pengungsi tanpa anak-anak yang kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya.


Layan kehilangan 35 anggota keluarganya malam itu, termasuk kedua orang tuanya dan lima saudara kandungnya.


"Saat itu baru setengah jam keluarga kami berada di rumah sakit saat dua misil menghantam kami. Saya terbangun, dan semua keluarga saya telah hancur berkeping-keping."


Ratusan orang tewas terbunuh akibat serangan terhadap rumah sakit di Kota Gaza yang dipadati oleh pengungsi dan korban luka. Kelompok milisi Palestina, Jihad Islam, dan Israel saling tuduh atas serangan tersebut.


Layan dan adiknya kini hidup bersama bibi dan kakak sepupunya, Ali, di sebuah tenda di kamp pengungsi Rafah, Gaza selatan.


Sebelum perang merampas semuanya, Layan biasanya membeli baju baru bersama orang tuanya untuk mereka kenakan saat Idulfitri, mereka akan membuat kudapan Idulfitri—dikenal sebagai "maamol" oleh masyarakat setempat—dan menikmati acara kumpul keluarga.


Sayangnya, tak akan ada acara kumpul keluarga tahun ini: "Tak akan ada yang mengunjungi kami Idulfitri kali ini, tuturnya.


Kendati kondisi keuangan terbatas karena perang yang terus berkecamuk telah membuat ribuan orang kehilangan pekerjaan mereka, Ali—yang saat ini berusia 24 tahun dan kini mengayomi Layan dan adiknya—memutuskan untuk membelikan mereka pakaian dan mainan yang dia mampu beli.


Sepupu-sepupu Layan biasanya tinggal bersama 43 anggota keluarga di sebuah gedung di kawasan Zeitun di Kota Gaza. Kini, mereka yang selamat tinggal di sebuah tenda di Gaza bagian selatan.


Seperti Layan, sepupunya, Mahmoud—yang berusia 14 tahun—kini menjadi yatim piatu akibat perang.


Dia kehilangan kedua orang tuanya dan sebagian besar saudara kandungnya dalam insiden yang sama di Rumah Sakit Al-Ahli.


Saat serangan terjadi, Mahmoud sedang berada di luar mencari air untuk kebutuhan pasokan air keluarganya.


"Saat saya kembali. Saya temukan semua orang meninggal dunia. Saya syok dengan apa yang saya saksikan.


Sebelum perang, Mahmoud bercita-cita menjadi juara binaraga dan bersiap turut serta dalam kompetisi internasional di Mesir. Kini dia hanya bermimpi untuk kembali ke rumah di utara Jalur Gaza.


“Tidak akan ada kegembiraan di Idulfitri kali ini. Dulu kami menghiasi jalanan dengan lampu, namun saat ini, kami mungkin hanya menggantungkan tali sebagai hiasan di tenda.”


Sulit untuk mendapat data yang akurat, tapi Unicef memperkirakan sedikitnya 17.000 anak-anak di Jalur Gaza hidup sendiri atau terpisah dari orang tuanya akibat perang.(Tim Siyasah)

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl