Proyek Food Estate Menurut Ahli Pertanian

Tim Siyasah
26.4.24
Last Updated 2024-04-26T13:47:33Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


Foto: Getty Image/illustrasi

FOOD ESTATE atau lumbung pangan secara sederhana adalah proyek pengelolaan lahan pangan berskala besar.

Viriya Singgih, secara mendalam menuliskan untuk BBC News Indonesia. Dalam tulisannya dijelaskan, rencana Indonesia menggandeng China untuk mengembangkan lahan sawah seluas satu juta hektare di Kalimantan Tengah dinilai tak realistis dan hanya akan mengulang kegagalan yang terus terjadi selama tiga dekade terakhir sejak era Presiden Soeharto.

Dalam tulisannya juga disebutkan, menurut Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, ada empat pilar pengembangan lumbung pangan.

Pilar pertama adalah kecocokan tanah dan iklim dengan komoditas yang ditanam.

"Di banyak proyek food estate, [pilar pertama] ini pun sudah dilanggar. Tanah tidak cocok, dipaksakan untuk padi, sawah," kata Andreas.

"Hasilnya apa? Ya pasti gagal."

Pilar kedua adalah infrastruktur pertanian, termasuk pengairan atau irigasi.

"Air kalau enggak bisa dikelola, selesai," ujar Andreas.

"Ketika musim penghujan, banjir. Lalu ketika musim kemarau, kering."

Infrastruktur lainnya adalah jalan usaha tani, yang dibutuhkan untuk mobilitas alat dan mesin pertanian serta pengangkutan hasil produksi menuju tempat pengumpulan.

Pilar ketiga adalah budaya budi daya dan teknologi.

Ini mencakup budaya bertani masyarakat setempat serta ketersediaan varietas atau kelompok tanaman yang cocok untuk ditanam di lahan bersangkutan, kata Andreas.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah teknologi untuk pengendalian hama, pemupukan, dan pengelolaan lahan gambut atau lahan sulfat masam – lahan dengan tingkat keasaman rendah yang mengganggu pertumbuhan tanaman.

Pilar keempat adalah pilar sosial dan ekonomi, termasuk yang menyangkut tenaga kerja dan perhitungan keuntungan badan usaha.

Satu petani di Indonesia biasanya mampu menggarap lahan 2.000 meter persegi, kata Andreas.

Katakanlah para petani dibantu sejumlah teknologi modern sehingga masing-masing bisa mengelola lahan hingga 2 hektare. Berarti, butuh setidaknya 500.000 petani untuk menggarap sawah 1 juta hektare.

"Dari mana bisa dapat 500.000 petani?" kata Andreas.

Ah Maftuchan, direktur eksekutif lembaga riset The Prakarsa, mengatakan hal senada.

Menurutnya, selama ini pemerintah kerap meluncurkan proyek-proyek food estate ambisius dengan luas lahan besar, tapi kebingungan mencari orang-orang untuk mengerjakannya.

"Yang akan mengerjakan siapa?" kata Maftuchan.

"Apa yang dilakukan dengan proyek [food estate] selama ini kan akhirnya melibatkan tentara. Tentara disuruh nanem. Apa itu? Enggak masuk akal."

Selain itu, Andreas bilang sawah yang ada mesti bisa menghasilkan setidaknya 4 ton gabah kering per hektare tiap kali panen. Bila tidak, biaya produksinya akan lebih besar daripada keuntungannya sehingga badan usaha yang terlibat akan merugi.

"Siapa yang mau bertani untuk rugi?" kata Andreas.

"Kalau badan usaha berusaha untuk rugi, enggak ada yang mau."

Bila satu saja dari empat pilar tersebut tak terpenuhi, maka proyek lumbung pangan hanya akan berujung kegagalan, kata Andreas.

Dan, tambahnya, itulah yang terjadi pada berbagai proyek lumbung pangan di Indonesia dalam setidaknya tiga dekade terakhir sejak era Presiden Soeharto.

Karena itu, bila pemerintah masih bersikeras mendorong pengembangan food estate melalui kerja sama dengan China, Andreas menilai itu akan sia-sia.

"Apakah kali ini kemudian berhasil?" kata Andreas. "Ya jawabannya pasti gagal."

Maftuchan pun pesimistis melihat proyek 1 juta hektare lahan sawah di Kalimantan Tengah, meski pemerintah mengatakan akan mengembangkannya secara bertahap, dimulai dengan 100.000-200.000 hektare.

"Pemerintah jangan mengulang kegagalan yang sudah pernah terjadi terkait dengan megaproyek food estate," kata Maftuchan.

"Meskipun bertahap, tapi 100.000-200.000 hektare itu tetap huge number untuk lahan pertanian."

Alih-alih mengembangkan food estate seluas 1 juta hektare, lebih baik pemerintah memilih lahan di lokasi-lokasi tertentu dalam area itu yang memenuhi segala persyaratan, sejalan dengan empat pilar pembangunan lumbung pangan, kata Andreas.

Lalu, pemerintah diusulkan membuka program transmigrasi untuk mendatangkan petani dari berbagai daerah untuk menggarap lahan-lahan pilihan tersebut.

"Dikembangkan mungkin hanya beberapa ratus hektare atau beberapa ribu hektare dulu di lokasi-lokasi yang betul-betul dipilih dengan saksama," kata Andreas.


"Jadi, konsepnya pembangunan lahan pertanian yang berbasis petani kecil, bukan food estate."

Opsi lainnya, menurut Maftuchan, pemerintah bisa fokus meningkatkan produktivitas lahan sawah yang sudah ada dibanding membuka lahan baru dengan luas "fantastis".

"Tinggal bagaimana pemerintah menemukan atau mencari teknologi dari berbagai negara, kemudian didorong produktivitasnya naik, pupuk diberesin, bibit diberesin, teknologi tepat guna diberesin, skill petani dinaikkan, dan seterusnya," kata Maftuchan.

"Itu justru akan lebih menjanjikan bagi saya dibanding mencetak lahan yang jumlahnya fantastis seperti itu. Karena siapa yang mengerjakan itu enggak jelas kan."(BBC News Indonesia/tim Siyasah News)
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl