![]() |
Petani Cot Trieng, Lhokseumawe |
PERTENGAHAN November 2002 lalu, sejumlah 12 kompi personil TNI mengepung rawa-rawa Cot Trieng di pinggiran Kota Lhokseumawe. Rawa gambut yang luasnya sekitar 800 ha, dinyatakan sebagai markas gerilayawan GAM. Pada masa konflik bersenjata itu, ratusan petani setempat resah.
Ironisnya, lebih satu dasawarsa konflik Aceh berakhir, mereka masih susah. 800 ha sawah sebagai sumber penghasilan, kurang produktif. Tanpa sarana irigasi, sawah hanya bisa ditanami jagung dan kedelai. “Menanam padi tidak berhasil karena kurang air,” jelas Geusyik (kepal desa) Cot Trieng, Badaruddin, minggu lalu.
Sebaliknya, ketika air sungai Muara Dua berlimpah, lahan sawah terendam. “Tapi, ketika air meluap dari sungai, lahan kami banjir,” tambahnya. Air tidak bisa dibuang, akibat tidak ada saluran drainase. Sehingga tanaman padi rusak.
Meskipun begitu, lebih dari 200 petani Cot Trieng, tetap berusaha menanam padi. Bagi masyarakat setempat, menghasilkan gabah lebih menguntungkan dari pada bertani jenis tanaman muda lainnya. “Setiap tahun kami menam padi, meskipun sering gagal panen,” ungkap Abdul Gani, Tuha Peut Cot Trieng.
Ketika musim kering, petani mengairi sawah dengan menggunakan pompa. Namun, karena biaya sewa pompa dan bahan bakar tidak murah, hanya sebagian kecil petani yang turun ke sawah. Sementara sarana pompa bantuan pemerintah daerah, tidak bisa difungsikan. Rekanan yang mengerjakan pembangunan pompa air mentelantarkan proyek tersebut.
Sementara ketika air sungai meluap, petani mencari lahan yang lebih tinggi. “Meskipun begitu, banjir juga sering merendam tanaman padi kami,” tambah Abdul Gani di sela-sela kegiatan kenduri blang di pinggiran rawa Cot Trieng. Kenduri Blang sebagai pertanda masa turun ke sawah akan segera datang. Dalam kesempatan itu, mereka berdoa agar panen tahun ini berhasil.(Zainal Abidin)